1 Latar Belakang
Kejadian pembakaran hutan sering terjadi
berulang di Indonesia. Wilayah yang sering mengalaminya adalah Sumatra dan
Kalimantan. Hal ini harus mendapat perhatian khusus oleh pemerintah karena dampak
dari kebakaran hutan meluas pada aspek lingkungan, sosial ekonomi dan juga
kesehatan. Dampak tersebut juga tidak hanya di rasakan di kawasan tersebut saja
tapi juga di regional Asia Tenggara. Dampak negatif dari pembakaran hutan tidak
hanya akan dirasakan dalam jangka waktu yang pendek tetapi juga akan memiliki
dampak untuk jangka waktu yang panjang, tidak terkecuali dalam hal kesehatan
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah tersebut.
Indonesia memiliki hutan ke-3
terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire (Rumajomi HB, 2006). Luas hutan
Indonesia diperkirakan kini mencapai 120,35 juta hektar atau 63 persen luas
dari daratan. Sejak tahun 1997 sampai saat ini, kebakaran telah menghanguskan
lebih dari 165.000 hektar hutan dibeberapa provinsi, yaitu Sumatra Utara, Riau,
Jambi, Bengkulu, Kalimantan, Maluku dan Papua (D Schwela, 2001). National
Interegancy Fire Center (2011, dalam Fikri dkk, 2012) menuliskan kebakaran
hutan di Indonesia telah menghanguskan sekitar 3,6 juta hektar pada tahun 1982 dan 1983, kemudian 9,8 juta hektar pada
tahun 1997 dan 1998 dan 13,328 hektar pada tahun 2005. Pada kebakaran hutan
pada tahun 1997, WHO memperkirakan sekitar 20 juta penduduk Indonesia telah
terpajan asap kebakaran hutan yang mengakibatkan berbagai gangguan pada funsi
paru dan sistem pernapasan (Dawud, 1999).
Kebakaran hutan (wild fire) adalah keadaan api menjadi
tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar pada daerah pedesaan atau
daerah yang luas. Kebakaran hutan berbeda dengan kebakaran biasa, dimana
kebakaran hutan dapat meluas lebih jauh dari tempat semula dan dapat berganti
arah tanpa diduga. Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran
permukaan, dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan, misalnya
semak, pepohonan, serasah. Kemudian api menyebar tidak menentu secara perlahan
di bawah permukaan, membakar bahan organik melalui pori-pori gambut dan melalui
akar semak belukar atau pohon yang bagian atasnya terbakar. Dalam
perkembangannya api menjalar secara vertikal dan atau horizontal, berbentuk
seperti kantong asap dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang
tampak di atas permukaan. Mengingat peristiwa kebakaran terjadinya di dalam
tanah dan hanya asapnya saja yang muncul ke permukaan, maka kegiatan pemadaman
akan mengalami kesulitan (BAPPENAS-ADB, 1999).
Kebakaran hutan dan lahan gambut
menjadi fokus utama kejadian kebakaran saat ini, mengingat dampak asap dan
emisi karbon yang dihasilkan. Sejumlah besar bahan kimia asap kebakaran hutan
dapat mengganggu kesehatan, meliputi partikel dan komponen gas seperti sulfur
dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzene,
nitrogen oksida (NOX) dan ozo (O3) (Dawud Y, 1999).
Dampak buruk ini akan lebih nyata dijumpai pada manula, bayi serta mereka yang
memiliki penyakit paru sebelumnya. Makalah ini memaparkan mengenai dampak buruk
dari asap bagi kesehatan masyarakat, tidak terkecuali bagi bayi dan ibu yang
sedang hamil.
2. Tinjauan Teori
Asap merupakan perpaduan atau
campuran karbondioksida, air, zat yang terdifusi, zat partikulat, hidrokarbon,
zat kimia organik, nitrogen oksida dan mineral. Komposisi asap tergantung dari
banyaknya factor, yaitu jenis bahan pembakar, kelembapan, temperatur api,
kondisi angin dan hal lain yang mempengaruhi cuaca, baik asap tersebut baru
atau lama. Jenis kayu dan tumbuhan lain yang terdiri dari selulosa, lignin,
tannin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin dan tepung akan membentuk
campuran berbeda saat terbakar (WHO, 2005).
Materi partikulat atau particulate mater (PM) merupakan bagian
penting dalam asap kebakaran untuk pajanan jangka pendek (jam atau mingguan).
Materi partikulat adalah partikel tersuspensi, yang merupakan campuran partikel
solid dan droplet cair. Materi partikulat dibagi menjadi empat bagian.
Pertama adalah partikulat dengan ukuran lebih dari 10mm. Partikulat ini tidak
sampai ke paru-paru, tetapi dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan.
Kedua adalah partikulat kurang atau sama dengan 10mm. Partikulat ini dapat
terinhalasi sampai ke pau-paru. Ketiga adalah partikulat kasar (coarse particles), partikel ini
berukuran 2,5-10 mm. Keempat adalah partikel halus (fine particles), partikel ini berukuran kurang dari 2,5 mm (Fikri
dkk, 2012).
Partikel debu atau materi
partikulat melayang merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa
organic dan senyawa anorganik di udara dengan diameter kurang dari 1 µm sampai
maksimal 500µm. Materi partikulat akan berada di udara dalam waktu yang lama dalam
keadaan yang lama dan masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan.
Partikel halus dapat terinhalasi ke dalam paru sehingga lebih beresiko
mengganggu kesehatan dibandingkan partikel yang besar (WHO, 2005).
Polutan lain yang berbahaya adalah
karbon monoksida yang tidak berwarna, tidak berbau, yang dihasilkan dari
pembakaran kayu atau material organik yang tidak sempurna. Kadar tertinggi
karbon monoksida adalah saat moldering ,
khususnya dekat api. Polutan udara lain yang dapat meniritasi saluran
pernapasan yaitu akrolein, formaldehid dan benzana, yang merupakan zat yang
karsinogen dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan materi partikulat dan
karbon monoksida.
Data lain menunjukkan bahwa akibat
kebakaran hutan di Indonesia, ambang batas
total suspended particulate (TSP) sebesar 260µg/m3 telah
terlampaui di beberapa provinsi. Sumatra Barat 5-10 kali ambang batas, Riau
0,8-7 kali, Sumatra Selatan 3,5- 8 kali, Kalimantan Barat 0,5-7,3 kali,
Kalimantan Tengah 5-15 kali (Dawud Y, 1999)
Secara umum,peningkatan kadar
partikulat material 10 µm di udara dihubungkan dengan peningkatan berbagai
keluhan pernapasan, peningkatan kunjungan instalasi ke gawat darurat,
peningkatan rawat inap dan resiko
kematian, eksaserbasi akut asma bronchial dan penyakit paru obstruktif Kronis
(WHO,2007). Indonesia menggunakan istilah Indeks Standar Pencemaran Udara
(ISPU) atau Pollutant Standard Index (PSI) untuk melaporkan konsentrasi
populasi udara sehari hari. Pembagian Indeks Standar Pencemaran Udara (PISU)
atau Pollutant Standard Index (PSI) dibagi menjadi enam kategori.
Pertama PSI kadar 0 – 50 kategori sehat, kedua PSI 51-100 adalah kategori
sedang, PSI 101-199 adalah kategori tidak begitu baik, PSI 200- 299 adalah
kategori tidak sehat, PSI 300-399 adalah kategori berbahaya, PSI ≥ 400 adalah
kategori sangat berbahaya.
Berdasarkan data yang didapat
karena kebakaran hutan di Riau menyebabkan kondisi udara yang berbahaya. Dari
data yang dimiliki oleh salah satu perusahaan besar PT Chevron Pacific
Indonesia yang dimuat di Koran Kompas terbitan tanggal 13 Maret 2014,
dituliskan angka yang bervariasi di tiap wilayah, namun semuanya berada pada
angka yang tidak normal. PSI di udara wilayah Duri mencapai 450-500 (kategori
sangat berbahaya), Dumai 183 ( kategori tidak begitu baik), Kabupaten Siak 347
(kategori berbahaya) dan Pekanbaru 305-402 (kategori berbahaya dan sangat
berbahaya). Data Satga Tangga Darurat Asap Riau menunjukkan bahwa selama
Februari hingga Maret lebih dari 51.600 warga sakit akibat polusi assap. Kepala
Dinas Kesehatan Riau H.Zainal Arifin mengatakan 53.553 jiwa dilaporkan mulai
terkena berbagai penyakit akibat kabut asap. Sebanyak 46.867 jiwa terkena
infeksi salura pernapasan akut (ISPA) dan lainnya mengalami sakit mata, asma, pneumoni
dan penyakit kulit.
Dalam kondisi pencemaran udara
tersebut tingkat oksigen murni di udara menurun drastis. Kadar oksigen murni
dalam udara bebas seharusnya mencapai 20 persen, namun saat ini kejadian
pembakaran hutan di Riau menyebabkan
kadar oksigen murni hanya sebatas 1 persen (BPBN, 2013). Hal ini
tentunya memberikan dampak yang sangat buruk terutama bagi kesehatan dan dampak
buruk tersebut terjadi jangka waktu yang
lama.
3. Dampak Polutan Asap Pembakaran Hutan Bagi Kesehatan
Polutan asap kebakaran hutan
memberikan dampak negatif bagi kesehatan, diantaranya:
1.
Partikulat ( partikel kecil < 10µm,
diameter aero dinamik < 2,5 µ ). Partikulat ini dapat terinhalasi melalui
sitem pernapasan, terjadinya akut, dengan mengiritasi bronkus, menyebabkan inflamasi
dan reaktifitas meningkat. Partikulat ini juga menyebabkan terjadinya
berkurangnya bersihan mukosilier, mengurangi respon makrofag dan imunitas local
serta reaksi fibrotic. Efek potensial pada kesehatan adalah mengi, asma
eksaserbasi, infeksi saluran nafas, bronchitis kronik, PPOK (Fikri,dkk, 2012).
2. Karbon
monoksida. Polutan ini berikatan dengan hemoglobin menghasilkan karboksi
hemoglobin yang mengurangi transport oksigen ke organ vital dan menyebabkan
gangguan janin. Sebagaimana kita ketahui seorang ibu hamil akan mengalami
anemia fisiologis. Kadar hemoglobin yang kurang dalam darah dan diperberat
dengan turunnya kadar oksigen dalam darah menyebabkan ibu hamil kekurangan
oksigen bagi dirinya dan untuk menyuplai bayinya. Hal ini menyebabkan kelahiran
berat badan bayi lahir rendah dan meningkatnya kasus kematian perinatal ((Fikri
dkk, 2012). Dengan kadar oksigen yang sangat kurang hal ini mempengaruhi kerja sel
otak khususnya balita. Otak sangat sensitive terhadap kekurangan oksigen.
Kekurangan oksigen dalam waktu 5 menit dapat menyebabkan kematian sel otak
secara permanen. Hal ini la yang menyebabkan pada jangka panjangnya kecerdasan
anak akan menurun.
3. Hidrokarbon
aromatic polisiklik (Benzo-alpyrene. Polutan ini bekerja sebagai karsinogen
yang dapat menyebabkan kanker paru, kanker mulut, nasofaring dan laring.
4. Nitrogen
dioksida. Polutan ini merupakan pajanan akut yang menyebabkan reaktivitas
bronkus. Pajanan kronik dapat meningkatkan kerentanan infeksi bakteri dan
virus. Efek potensial pada kesehatan menimbulkan mengi, asma eksaserbasi,
infeksi saluran nafas, berkurangnya fungsi paru anak.
5. Sulfur
dioksida. Polutan ini sebagai pajanan akut yang menyebabkan reaktivitas
bronkus. Hal ini member dampak bagi kesehatan, menimbulkan mengi, asma
eksaserbasi, PPOK eksaserbasi, penyakit kardiovaskuler.
6.
Kondesat asap biomass, termasuk
hidrokarbon aromatic polisiklik dan ion metal. Polutan ini masuk kemata dan
diabsorbsi oleh lensa, sehingga terjadi perubahan oksidatif. Hal ini dapat
menyebabkan katarak pada mata.
Udara tercemar akan masuk ke dalam
tubuh manusia sehingga mempengaruhi paru dan saluran napas, komponennya juga
diedarkan ke seluruh tubuh, artinya selain terhisap langusung manusia dapat
menerima akibat buruk polusi ini dan secara tidak langsung dapat mengkonsumsi
zat makanan atau air yang terkontaminasi.
Polusi dalam rumah mempunyai dampak
lebih besar, karena penghuni rumah akan terpajan asap dalam konsentrasi tinggi
selama bertahun-tahun. Pajanan kebakaran hutan biasanya berlangsung selama 4-5
bulan dalam setahun dan intesitasnya tergantung pada luas kebakaran hutan. Asap
menimbulkan iritasi mata, kulit dan gangguan saluran pernapasan, yang lebih
berat fungsi paru berkurang, bronchitis, asma eksaserbasi dan kematian
dini. Selain itu konsentrasi yang tinggi
partikel-partikel iritasi pernapasan dapat menyebabkan batuk-batuk terus, batuk
berdahak, kesulitan bernapas dan radang paru.
Inhalasi merupakan jalur pajanan
yang menjadi perjhatian kesehatan. Partikulat 5 µm dapat langsung masuk ke
paru-paru dan mengendap di alveoli. Partikulat ≥ 5µm juga berbahaya karena
dapat mengganggu sistem pernapasan dan mengiritasi saluran pernapasan. Kondisi
kronik terpajan polusi udara beracun dengan konsentrasi tinggi sedikit
meningkatkan resiko kanker.
4. Pencegahan dan Penanganan
a. Upaya terbaik dari kondisi ini
tentunya adalah upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan. Dampak dari asap
hasil pembakaran hutan sangat luas dan buruk, oleh karena itu upaya pencegahan
dalah upaya yang paling utama. Perlu
dibina kerjasama lintas sektoral dan masyarakat diberi pendidikan mengenai
bahaya dan cara pencegahan kebakaran hutan serta cara memadamkan kebakaran itu
sendiri.
b. Penggunaan masker. Penggunaan
masker ini relatif murah dan mudah disebarluaskan tetapi efektifitasnya masih
dipertanyakan. National Institute of Occuposional Safety and Health (NIOSH)
telah melakukan di pengujian dan menetapkan beberapa jenis masker yang mampu
mneyaring lebih dari 99% partikel silikia berukuran 0,5 µm. Beberapa badan
kesehatan lain merekomendasikan masker yang baik yaitu yang mampu menyaring
lebih dari 95% partikel lebih dari 0,3µm. Masker tersebut berkode R95, N95 atau
P95. Masker ini harus dipasang cukup rapat sehingga udara tidak dapat masuk di
sela-sela pinggiran masker dan kulit wajah
c. Mengurangi aktivitas di luar
rumah. Dengan mengurangi aktivitas di luar rumah maka resiko terpajan dengan
polutan akan berkurang.
d. Minum air putih lebih banyak,
tujuannya membersihkan kabut asap yang telah masuk ke dalam tubuh.
e. Menutup makanan atau penampungan
air minum yang ada di rumah agar terlindungi dari polusi kabut asap.
f. Usahakan agar asap tidak masuk
ke ruang gedung atau rumah atau ruang tertutup lainnya.
g. Konsumsi makanan yang
menyehatkan dan istirahat yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh dalam
menangkal dampak buruk dari asap.
Dalam kejadian pembakaran hutan
seperti kasus di Riau, bidan sebagai tenaga kesehatan berperan dalam memberi
edukasi mengenai dampak buruk dari asap tersebut. Selain itu, bidan juga
melakukan tugas yang berkontribusi dalam peran yang diberikan oleh pemerintah
daerah terkait kejadian luar biasa tersebut selain focus pelayanan pada ibu dan
bayi.
DAFTAR
PUSTAKA
Wahyu catur adinugroho dan inn suryadi
putra. Seri pengelolaan hutan dan lahan
gambut. 2013
Rumajomi HB. Kebakaran hutan di indonesia dan dampaknya terhadap kesehatan (makalah filsafat
sains, Program Pasca Sarjana). Bogor : Institut Pertanian Bogor: 2006.
Fikri faisal, faisal yunus, fakrian
harahab. Dampak asap kebakaran hutan pada
pernafasan. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.